Foto: Dok Mahasiswa MBKM FISIP UNWIRA Kupang |
Dalam acara tersebut, sebanyak 10 ibu pengrajin tenun ikat dan 11 mahasiswa MBKM turut berpartisipasi. Elvera Rosa Ina Dai Wahon (Elvera), salah seorang mahasiswa, menyoroti pentingnya pemanfaatan media sosial dalam mempromosikan dan melestarikan budaya tenun ikat di era modern ini.
"Melalui platform seperti Instagram, Facebook, dan TikTok, para penenun dan penggemar tenun ikat dapat berbagi karya secara luas kepada dunia luar, termasuk proses pembuatan, desain terbaru, dan cerita di balik setiap kain yang dihasilkan," ujar mahasiswa program studi Administrasi Public tersebut.
Selain itu, kemajuan teknologi dalam media sosial memungkinkan pertukaran informasi, pengetahuan, dan teknik antara para penggemar tenun ikat, menciptakan lingkungan yang mendukung pertukaran budaya dan kreativitas.
"Melalui pemasaran online, para penenun dapat memperluas jangkauan pasar mereka, memberikan kontribusi pada ekonomi lokal, dan secara tidak langsung melestarikan tenun ikat di tingkat nasional," tambah Elvera.
Sementara Sumiati Depan Ole (Ina Ole), salah satu pengrajin tenun, mengungkapkan bahwa awalnya kegiatan tenun ikat dilakukan secara berkelompok dengan bantuan lembaga dari Bali. Namun, karena beberapa alasan, kegiatan tersebut kini dilakukan secara individu.
"Hingga saat ini, belum ada bantuan desa untuk kelompok tenun ikat. Beberapa di antara kami sudah mulai memanfaatkan media sosial seperti WhatsApp dan Facebook untuk promosi, tetapi masih banyak yang belum memanfaatkannya sepenuhnya," ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, para ibu pengrajin juga menyoroti variasi harga sarung tenun ikat di pasar lokal, yang berkisar antara 250 hingga 1 juta rupiah, tergantung pada jenis kainnya. Mereka berharap melalui sosialisasi ini, kain tenun ikat dapat dikenal secara lebih luas baik di tingkat nasional maupun internasional. (*)