Notification

×

Dedikasi FKIP UNDANA dan Masa Depannya

Jumat, 28 Juli 2023 | Juli 28, 2023 WIB Last Updated 2023-07-28T03:12:56Z
Hamza H. Wulakada
Kupang, Fakta Line - Memulai tulisan ini, saya sekedar mengutip tujuan berbangsa kita sebagaimana tertuang dalam alinea ke-4 UUD 1945 bahwa selain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, juga untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Saya garis bawahi kalimat  ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’, lantas kita bertanya seperti apa kehidupan bangsa yang cerdas itu?. Kita dihantarkan pada akhir paragraf ke-4, kehidupan bangsa yang cerdas dalam konteks Indonesia adalah kehidupan yang Pancasila-is. Dalam konteks kekinian, kini kita dipertegas dengan 6 ciri pelajar Pancasila yang cerdas dan berkarakter, yaitu; [1] beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, [2] berkebhinekaan global, [3] gotong royong, [4] mandiri, [5] bernalar kritis, dan [6] kreatif.


Saya disini tidak sedang memperdebatkan pilihan jargon kependidikan yang diintroduksi dalam skema kurikulum atau sejenisnya sehingga harus mengatakan pilihan Pelajar Pancasila menjadi yang paling ideal guna mewujudkan Generasi Emas Indonesia tapi hanya sekedar mengingatkan bahwa kemajuan peradaban suatu bangsa itu sangat terpegantung pada bagaimana bangsa ini menjamin kualitas generasinya dari masa ke masa melalui perbaikan dan peningkatan sistem kependidikannya. Kata kuncinya adalah Sistem Pendidikan sehingga UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang telah berulang kali mengalami penataan, termasuk PP Nomor 4 tahun 2022 yang merupakan perubahan PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Pendidikan Nasional, beserta berbagai regulasi teknis turunannya. Organ strategis dalam penyelenggaraan sistem pendidikan adalah eksistensi Guru/tenaga didik sehingga diatur secara khusus berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Para guru dituntut memiliki kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi professional sehingga guru hanya bisa dilahirkan dari rahimnya sekolah/perguruan tinggi keguruan dan ilmu pendidikan maka jalur Akta IV [sebelumnya] harus dihilangkan untuk menjamin profesionalisme seorang guru.


Republik ini sebentar lagi akan merayakan HUT ke-78. Jauh sebelum diproklamirkan, para penjajah pun telah menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi masyarakat jajahannya. Bukankah itu sebuah anomali? Seyogyanya penjajah membiarkan masyarakat jajahannya tetap ‘bodoh’ dengan tidak mengenyam pendidikan, namun karena berorientasi untuk menguatkan cengkraman jajahannya maka secara terbatas dibuka ruang bagi kelompok tertentu untuk mengenyam pendidikan. Bahkan hingga membentuk stratifikasi sosial kala itu dalam kelompok santri, priyayi dan abangan dalam kehidupan bermasyarakat. Karena sumberdayanya terbatas maka penjajah membutuhkan perpanjangan tangan kelompok menengah untuk ‘menjamah’ kekuasaan di wilayah jajahannya. Lepas dari Sekolah Rakyat dan berbagai tingkatan dibawahnya, Pemerintah Hindia Belanda bahkan yang mendirikan perguruan tinggi pertama di Indonesia yaitu Dokter Djawa School Batavia [1984] yang kemudian berubah nama menjadi Universitas Indonesia pada tahun 1950. Menyusul Technische Hoogeschool [sekarang ITB] yang hadir menjelang Sumpah Pemuda [1920], dan UII yang hadir menjelang hari proklamasi Indonesia [8 Juli 1945].


Menariknya, diantara 2 perguruan tinggi pertama yang didirikan atas dukungan Pemerintah Hindia Belanda itu [UI dan ITB] keduanya tidak punya jurusan Pendidikan, barulah saat hadirnya UII yang diprakarsai para cendikiawan muslim menghadirkan 4 fakultas; fakultas agama, fakultas hukum, fakultas pendidikan dan fakultas ekonomi. Selanjutnya setelah kemerdekaan berdirilah UGM [1949] lalu UNAS [1949] yang juga menopang pentingnya fakultas keguruan. Tujuannya sederhana; menyiapkan masa depan bangsa dengan mencetak guru/tenaga pendidik yang akan mengampuh ketersediaan unit pendidikan sekolah yang juga mulai dirintis pasca kemerdekaan. Walhasil, para guru dahulu bisa saja dari berbagai disiplin ilmu, bahkan tak sekolah pada perguruan tinggi pun bisa menjadi guru asalkan bisa membaca, menghitung dan menulis; itu sudah lebih dari cukup dari kebutuhan kala itu.


Seiring berkembang, didirikanlah beberapa perguruan tinggi diberbagai belahan negeri dan salah satu fakultas yang prioritas dibuka adalah Fakultas Keguruan [atau penamaan sejenisnya], termasuk UNDANA yang mulanya hanya tersedia Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan [1962], menyusul Fakultas Peternakan [1964]. Kita patut bersyukur, IKIP Malang yang pada tahun 1964 hadir di Kupang bergabung dengan UNDANA dan menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan [1964]. Kini FKIP UNDANA adalah fakultas terbesar di UNDANA yang berkontribusi nyata untuk keberlangsungan pendidikan di NTT, tak pelak lebih dari puluhan ribu alumninya mengisi semua lini sektoral urusan di dalam maupun di luar NTT. Alkisah, para guru diperkampungan dapat berperan menjadi apa saja dan bahkan menyandang status guru adalah tokoh besar di area sosiologis kaum rural.


Menyimak kemajuan dan perkembangan perguruan tinggi keguruan dan ilmu pendidikan di Indonesia, sebutlah 7 [tujuh] yang terbaik saat ini; Universitas Negeri Yogyakarta [UNY], Universitas Negeri Malang [UM], Universitas Pendidikan Indonesia [UPI], Universitas Negeri Semarang [UNNES], Universitas Negeri Surabaya [UNESA], Universitas Negeri Jakarta [UNJ], dan Universitas Negeri Makassar [UNM]. Sejarahnya; UNY dahulunya IKIP Yogyakarta yang cikal bakalnya dari UGM, UM Malang juga memiliki keterikatan sejarah dengan Universitas Airlangga Surabaja, UPI juga punya irisan sejarah dengan UNPAD, UNNES punya irisan sejarah dengan UNDIP, UNESA berisisan dengan Universitas Airlangga Surabaja, UNJ beririsan dengan Universitas Indonesia, dan UNM juga mulanya bercikal bakal dari UNHAS. Semuanya kini menjadi universitas keguruan yang sangat kompetitif dan terkemuka seiring sirkulasi kebijakan negara serta dinamika persaingan eksternal, lantas bagaimana dengan FKIP UNDANA?


Harus diakui bahwa sepanjang 3 dekade terakhir, sebagian besar ‘pembesar’ dalam berbagai urusan diberbagai sektor di NTT maupun diluar NTT yang lulusan UNDANA adalah sebagian besarnya dari FKIP UNDANA. Artinya, guru bukan hanya untuk unit pendidikan formal di sekolah kala itu, guru berperan sebagai komunitas bermartabat di kalangan masyarakat, guru dianggap kelompok kaum cerdas yang mendominasi kebaharuan, guru menjadi rujukan paradigma perkembangan, dan guru menjadi referensi akhir berdiplomasi. Sapaan pada sanjungan sang Guru adalah sebuah penghormatan tertinggi pada mereka yang dijadikan sumber rujukan, termasuk guru ngaji dan guru sekolah minggu meskipun bukan dari latar belakang keguruan. Semua itu kian sirna seiring hadirnya tuntutan profesionalisme guru sehingga para guru ‘tempoe doeloe’ semacam Guru Umar Bakri dalam syait lagu Iwan Fals tak lagi jadi sanjungan dedikatif ditengah masyarakat kekinian. Apakah ini kegagalan FKIP dalam menyiapkan para pendidik ataukah memang bentukan paradigma publik yang tidak lagi memposisikan status sosial guru sebagai kelompok berpendidikan elit yang patut menjadi teladan, ataukah kita sudah merasa paling pintar sehingga tak butuh guru sebagai pemijar laju peradaban?


Apapun perdebatannya, FKIP UNDANA yang kini hampir 60 tahun masih menjadi bagian penting dari UNDANA, berbeda dengan ketujuh universitas keguruan ternama diatas dan bahkan ada lainnya yang belum disebutkan. FKIP UNDANA menjadi bagian yang cukup signifikan dalam skala kuantitaf diantara 8 fakultas lainnya di UNDANA dan berdampak pada dinami politik ditingkat perguruan tinggi, FKIP selalu mendapatkan porsi lebih dari berbagai kebijakan pembangunan di UNDANA. Dalam hal kebijakan anggaran maupun lainnya, FKIP cukup diperhitungkan sebagai elemen yang mendominasi lebih dari 40% komunitas ilmiah di UNDANA. Memiliki 18 Prodi dengan puluhan ribu mahasiswa, FKIP kini mulai kembali diminati 1 dekade terakhir pasca profesi guru menjadi primadona atas jaminan kesejahteraan semu pada guru, toh penggemarnya mayoritas kaum rural yang ingin mengisahkan kembali kedigdayaan sanjungan guru.


Pekan ini, fakultas terbesar dan termasuk tertua di UNDANA ini sedang dalam kemeriahan tiada tara karena menyambut hadirnya 2 Guru Besar baru [Prof. Dr. Yantus Aristarkus B. Neolaka, S.Pd., M.Si dan Prof. Dr. I Gusti Made Ngurah Budiana, S.Si.,M.Si] menggantikan beberapa seniornya ‘sang maha guru’ yang telah purna bhakti. Kebahagiaan semakin komplit karena menjadi tuan rumah perayaan Dies Natalis UNDANA ke-61, serta ditambah sedang dalam perayaan demokrasi atas rutinitas suksesi kepemimpinan di FKIP. Ketiga kandidat telah berproses namun tak nampak riak kesenggangan entitas karena semuanya adalah para maha guru, mungkin sudah pada dewasa dalam berpolitik sehingga terasa adem atmosfir politiknya.


Saya sendiri bukanlah orang yang dilahirkan langsung dari latar belakang keguruan namun dibesarkan dari keluarga keguruan jadi saat ‘terdampar’ di FKIP UNDANA, bukan hal sulit untuk memulai pergumulan. Lepas dari itu, kini menjadi bagian dalam keluarga besar FKIP UNDANA; Rumah Kita Bersama, bolehlah saya mengajukan sepenggal ide gila; apakah ketiga kandidat Dekan punya bayangan masa depan bahwa FKIP suatu ketika akan seperti ketujuh universitas keguruan bertaraf Internasional diatas?, Apakah FKIP UNDANA sanggup melepaskan dirinya dari belenggu civitas UNDANA?, Apakah UNDANA kelaknya akan merelakan jika FKIP terpisah mandiri menjadi Universitas Pendidikan Nusa Cendana [misalnya]?. Hanya sejarah yang bisa membuktikan kedepannya namun momentum ini kita semua patut merefleksikan kontribusi FKIP ini kedepannya, sudah harus dipikirkan kemana arah pendidikan NTT kedepan. Apapun itu wasilahnya, kampus tetaplah menjadi candradimuka para pendidik professional, tetap mengagungkan kemahaguruan di tengah masyarakat demi cerdasnya kehidupan bangsa. Sukses FKIP UNDANA, Dirgahayu UNDANA.

Oleh : Hamza H. Wulakada