Nef Talis (dok pribadi) |
Kupang, Fakta Line - Pemilihan Umum (Pemilu) atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Maupun pemilihan Legislatif merupakan Sistem demokrasi di Indonesia yang telah diamantkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang diselenggarakan secara reguler pada setiap lima tahun. Sistem demokrasi ini merupakan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dimana rakyat memilih secara sendiri langsung siapa yang akan menjadi wakil rakyat maupun pemimpin negara atau daerahnya selama lima tahun. Pada sejarahnya pelaksanaan pemilu yang pertama kali di selenggarakan tahun 1955.
Praktik politik uang diduga masih terjadi, bahkan meningkat pada Pilkada 2020. Apalagi pilkada digelar di saat pandemi covid-19 tambah mengerikan. Di era demokrasi seperti ini, praktik politik uang tentu sesuatu yang menakutkan. Selain, karena tidak sejalan dengan prinsip dan nilai-nilai demokrasi, juga karena menguatnya suara publik menentang politik uang.
Menurut Nefftalis Ketua Umum Ormas Ikatan Paguyuban Flotirosa (IPF) NTT politik uang adalah suatu tindakan membagi-bagikan uang atau materi lainnya, baik milik pribadi dari seorang politisi (calon Legislatif/calon presiden dan wakil presiden, calon kepala daerah) atau milik partai untuk mempengaruhi suara pemilu yang diselenggarakan. Jadi, politik uang merupakan upaya mempengaruhi orang lain, dengan menggunakan imbalan materi pada proses politik dan kekuasaan bernama pemilihan umum. Nefftalis mengategorikan politik uang dalam tiga dimensi yaitu vote buying, vote broker dan korupsi politik. Vote buying merupakan pertukaran barang, jasa, atau uang dengan suara dalam pemilu. Vote broker adalah orang yang mewakili kandidat/partai untuk membeli suara.
Korupsi politik, adalah segala bentuk suap kepada politisi dalam rangka mendapatkan kebijakan yang menguntungkan atau keuntungan lainnya.
Seperti yang dikemukakan Nefftalis, praktik politik uang dimulai dari proses nominasi kandidat, selama masa kampanye, hingga hari-H pemilihan ketika suara dihitung.
Ada dua jenis politik uang. Pertama, secara langsung dengan memberikan uang kepada pemilih. Kedua, secara tidak langsung dengan memberikan berbagai barang yang memiliki nilai guna dan nilai tukar yang tinggi. Dalam sejarah politik bangsa Indonesia, praktik politik uang sesuatu yang tak bisa dihindarkan. Hal itu, disebabkan karena pendidikan moral politik kita masih rendah. Misalkan terkait bagaimana tingkat pemahaman warga soal konsekuensi, jika menerima suap berupa uang, atau barang hanya untuk memilih kandidat yang tak sesuai hati nuraninya.
Kemudian karena faktor ekonomi. Ekonomi yang pas-pasan, membuat kita terbuai dengan rayuan gombal para pelaku utama politik uang. Kalau secara ekonomi kita mapan, barangkali menerima tawaran Rp100 ribu misalnya, tidak terjadi. Karena, uang Rp100 ribu digadaikan untuk kepentingan publik selama lima tahun. Dengan tawaran Rp100 ribu itu, kita digiring memilih kandiat tertentu. Padahal, kita telah menentukan pilihan kepada kandidat lain. Jika hal seperti ini dibiarkan menjamur dalam demokrasi, maka jangan berharap kita mendapat pemimpin berkualitas. Pemimpin yang bekerja untuk kepentingan bersama. Pemimpin yang dihasilkan karena politik uang adalah pemimpin gagal. Karena, dari awal saja dia tidak bisa bersaing secara sehat. Dia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan.
Tipe pemimpin seperti inilah yang mestinya tidak boleh lagi ada di Indonesia Khususnya di Nusa Tenggara Timur. Karena dia bekerja bukan untuk rakyat. Tapi di masa kepemimpinannya, dia hanya fokus bekerja untuk tim sukses, pemodal, dan mengembalikan uangnya yang telah dipakai membayar suara. Padahal, praktik demokrasi sudah lama berlangsung. Namun, belum ada satu rujukan atau metode yang tepat agar kita terhindar dari praktik politik uang.
Prosedural Parpol yang diharapkan mampu memberikan pendidikan politik, baik kepada kader parpol maupun masyarakat belum terwujud. Parpol masih enjoy melakukan kerja politik prosedural. Bukan politik substansial. Mestinya kader parpol yang memberi contoh kepada masyarakat. Bukan malah menjadi pelaku praktik politik uang. Dalam spirit yang sama kita sangat berharap agar praktik politik uang tak lagi terjadi di Indonesia Khusus di NTT. Namun, fakta di lapangan bercerita lain.
Gerakan politik uang masih terjadi, malah sangat meningkat. Studi menunjukkan bahwa agenda peningkatan integritas politik elektoral kita dihambat oleh maraknya politik uang, bahkan, dugaan praktik politik uang diprakarsai parpol, tokoh-tokoh parpol dan calon kepala daerah. Seperti praktik mahar politik yang sering terjadi di beberapa parpol di Tanah Air. Misalnya, kasus Operasi Tangkap Tangan di berbagai Daerah. KPK menemukan di berbagai daerah di Indonesia “serangan fajar” pemilu, melihat realita seperti ini, para pelaku politik mesti mampu mendesain politik yang berintegritas. Terwujudnya politik elektoral yang berintegritas, menjadi pintu masuk keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia. Karena, membangun integritas di sektor politik menjadi bagian penting, terutama, jika dilihat dari perspektif pemberantasan korupsi.
Dalam konteks pemilihan legislatif, kita berharap akan adanya yang berintegritas. Hal itu terjadi jika semua unsur, kandidat calon kepala daerah, parpol, tim sukses dan rakyat bersama-sama menjadikan pesta demokrasi sebagai momentum evaluasi. Berbenah diri agar demokrasi kita naik kelas. Kemudian, memastikan kepada semua keluarga, warga masyarakat agar bisa menghindar dari upaya praktik politik uang.
Kita harus menjadi generasi optimistis yang menyelamatkan demokrasi. Tugas kita memastikan bahwa pilkada 2024 ini bebas dan bersih dari praktik politik uang. Jika ditemukan dalam aktivitas politik di akar rumput, kita bertanggung jawab mengumpulkan bukti lalu melapor kepada pihak berwajib, Bawaslu misalnya. Hal ini, agar memutuskan ruang gerak para mafia politik bergerilya di musim politik. Kita menutup rapat kanalnya. Sehingga, racunnya tidak berimbas pada pembangunan daerah. Dengan demikian, demokrasi kita menjadi lebih baik, lebih sehat dan produktif.
Dampaknya, kita dapat memilih calon anggota legislatif sesuai suara hati. Yang layak dan siap mengabdi untuk kepentingan rakyat secara keseluruhan. Karena itulah tugas kepala daerah, legislatif yakni menjadi pelayan bagi rakyat yang telah memilihnya. Kita tetap waspada agar praktik politik uang tidak terjadi. Baik selama masa kampanye, saat pencoblosan maupun setelah pencoblosan. Kita tetap pantau sampai adanya pengumuman resmi dari masing-masing KPUD.
Penulis: Nef Talis