Notification

×

Generalisasi Demokrasi dan Tekstur Politik 2024 Mengalami Gejolak Signifikan

Selasa, 01 November 2022 | November 01, 2022 WIB Last Updated 2022-11-01T00:43:08Z

"Semua warga negara memiliki kebebasan namun tidak absolut sebab ada keteraturan yang mengikat karena pada dasarnya orang lain juga memiliki hak yang serupa, seperti keputusan pada saat pemilihan umum yang menjadi pilar dari demokrasi di Indonesia"

Foto: Jeffry meo
Fakta Line - Pemilihan umum (Pemilu) menjadi sarana atau instrument penting di negara domokrasi seperti Indonesia, semua elemen di negara ini ikut mengambil bagian pada momentum pesta demokrasi sebagai bentuk kepedulian terhadap perkembangan serta perubahan bangsa dan juga bagian dari implementasi kebebasan masyarakaat sipil ( freedom of civil society ). Ada suatu adigium yang sering kita dengar yaitu suara rakyat adalah suara Tuhan, menjadi dalil dari kalimat ini kemudian masyrakat sipil melihat sarana dari demokrasi tersebut untuk menentukan pilihan sebagai keputusan final untuk menentukan siapa dan tujuan seperti apa kepemimpinan yang ideal karena pada dasarnya hak secara electoral untuk menentukan pilihan sebagai wujud implementasi konstitusi yang ada, yaitu hak atas kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, dan “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” serta prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle). Pemaknaannya bahwa warga negara mempunyai kedudukan yang strategis untuk memutuskan serta mempertimbangkan suatu pilihan dalam penentuan pemimpin yang dari sudut pandang masing-masing yang semestinya pemimpin serta semua warga negara memiliki hak yang sama untuk menentukan pilihan sesuai dengan keinginan atau privatisasi keputusan politik sebagai komitmen pribadi untuk menentukan pilihan sebagai bagian dari kebebasan individu yang diperkuat melalui perundang-undangan sebagai payung hukum.  

Dari  pemilihan umum di Indonesia sejak pasca era orde baru berbagai perilaku politik, penerapan demokrasi serta peran urgensial kepentingan di tubuh partai politik ( political party ) baik secara internal maupun eksternal yang membuat public secara luas menafsirkan dengan cara-cara sendiri untuk membangun sebuah prespektif yang objektif melihat dari keadaan partai-partai politik entah itu dari sudut pandang posistif maupun negative. Melihat fenomena politik fenomena politik hari ini terkhusnya pada partai politik membuat public juga merasa pesimis dengan instrumental demokrasi dan Sebagian juga optimis  dengan keadaan partai politik karena ada berbagai alasan mendasar seperti saling sikut menyikut antar partai politik serta melihat keadaan ini sebagai bagian dari suasana demokrasi yang harus diterima sebagai kehangat dari kebebasan serta berbagai ragam penilaian yang bermunculan.


Menurut Carl Joachim Friedrich seorang ilmuwan politik yang memiliki keturunan Jerman-Amerika mengemukakan bahwa partai politik adalah sekelompok mmanusia yang terorganisir secara stabil, dengan tujuan membuat atau mempertahankan pengusaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal ataupun matril (Miriam Budiardjo, 2008: 403) . Dari pandangan teoritis yang dikemukakan oleh Carl J. Friedrich tentu digeneralisasikan bahwa partai politik hakikatnya menginkan untuk terus berada pada ruang kekuasaan, sehingga cara yang akan dilakukan harus benar-benar ekstra dan komperhensif untuk mendapatkan kekuasaan( power ) baik itu ketua umum atau pengurus partai maupun kader-kadernya bahkan simpatisan yang diyakini memiliki kualitas serta popularitas akan dijadikan calon untuk mendapatkan kekuasaan.


Kenyataan hari ini tidak bisa dipungkiri bahwa partai politik mendesain kepentingan hanya berorientasi pada kekuasaan yang menjadi kemutlakan, sesuai dengan kesepakatan seluruh elemen partai bahkan menjadi hak prerogative dari seorang pemimpin di masing-masing partai. Dugaan sementara ( hipotesis ) yang menjadi pendasaran bahwa partai politik hari sedang berada pada niat serta cita-cita fundamental yaitu partainya harus memiliki pengaruh “kesempatan untuk mendapatkan jabatan strategis pada keuasaan di negara ini” serta keinginan partai tertentu yang tidak simpati dan empati terhadap partai pertahana (incumbent) yang terus berkuasa sehingga dalil tersebut mendorong partainya untuk terus bekerja agar bisa mendapatkan dukungan dari public, merupakan sebuah keadaan realitas politik yang saat ini terjadi bahkan sudah sejak lama terjadi baik skala global maupun nasional bahkan regional.


PRAHARA PARTAI POLITIK MENYONGSONG PEMILU 2024

Partai politik terus memainkan peran dalam sebuah negara seperti Indonesia, dimana ada bagian-bagian tertentu yang menjadi suatu kenyataan electoral yang harus diterima sebagai bentuk implementasi nilai-nilai keputusan politik bersama ( demokratisasi ) seperti kekuasaan ekesekutif maupun legislatif bahkan berdampak pada yudikatif. Seperti teori pembagian kekuasaan (Trias politica) yang digagas oleh tokoh filsafat politik asal inggris John Locke dimana pandangannya yang tidak menginginkan kalau kekuasaan tidak diserahkan kepada seseorang atau satu kelompok dan lembaga saja namun ada bagian lain yang harus diberikan urusan-urusan tertentu. Maka implementasi di Indonesia yang seperti hari ini terjadi, ada lembaga-lembaga tertentu yang saling berkorelasi namun memiliki independesi tersendiri yang patut dijaga profesionalitasnya.


Sehingga hal tersebut tidak bisa dilepaspisahkan dengan partai politik, sebab peran partai politik begitu penting dan organ politik vital. Untuk mendapatkan posisi kekuasaan tersebut adalah suatu keinginan setiap partai politik, niat untuk mendapatkan kekuasaan tentu hal yang paling mendasar sebab sangat berdampak baik terhadap partai politik itu sendiri maupun perubahan kemajuan bangs ini sejauh profesionalitas dan integritas itu ada.


Ada berbagai gejolak yang kemudian dilakukan oleh beberapa partai politik kendati karena merasa marah atapun hanya memiliki niat untuk mendapatkan dukungan dari masyrakat, dengan berbagai alasan yang disampaikan kepada publik. Saling menebarkan isu-isu politik, manifesto politik melalui momen-momen besar partai serta berbagai pidato kebangsaan yang saling sikut-menyikut. Memang hal seperti tidak bisa dihindari seperti negara yang memiliki lebih dari satu partai (multi partai) seperti Indonesia lalu didukung dengan kebebasan atau demokratisasi yang terus mendorong untuk menyampaikan pandangan-pandangan seperti kritikan serta solusi yang tentunya harus berdampak terhadap partai politik jauh lebih dominan ketimbang untuk kepentingan fundamental bangsa dan negara.


Seperti yang baru-baru ini terjadi antara partai Demokrat dan partai koalisi presiden Joko Widodo, dalam suatu momentum Susilo Bambang Yudhoyono atau akrab disapa SBY kepada kader Partai Demokrat saat menggelar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Tahun 2022 di Jakarta Convention Center, Jakarta Pusat, bahwa dalam pidato tersebut Ia menyampaikan bahwa beliau akan turun menimbang ada dugaan kecurangan pada pemilihan presiden 2024 mendatang, hal kemudian menuai pro dan kontra, sebagaimana ada yang menilai hal itu merupakan sebuah kenyataan yang terjadi namun ada yang beranggapan bahwa partai Demokrat sedang mencari popularitas partai dengan mengkirtik kepemimpinan presiden Jokowi, hal tersebut  ditanggapi juga oleh partai pertahana masa kepemimpinan Jokowi yaitu partai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan argumentasi bahwa pernyataan mantan presiden Indonesia kelima ini adalah suatu fitnaan, dengan penjelasan bahwa, kapan SBY naik gunungnya? Hal tersebut dibalas oleh sekretaris jenderal partai PDIP. 

  

Kemudian keadaan lain yang terjadi justru dari tubuh partai koalisi yaitu partai Nasdem, yang mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden 2024, padahal jika dilihat masa kepemimpinan presiden Jokowi belum berakhir, hal ini hemat penulisan merupakan manuver politik yang sangat luar biasa, mengingat beraninya seorang partai Nasdem menetapkan mantan gubernur DKI Jakarta tersebut sebagai calon presiden 2024. Ini akan beresiko terhadap reshuffle kabinet karena beberapa alasan,Pertama, masa kepemimpinan Jokowi belum barkhir, sehingga hal ini sangat mempengaruhi posisi partai Nasdem ditubuh cabinet saat ini. Kedua, Anies Baswedan adalah lawan dari presiden Jokowi waktu Pemilu 2019, ini juga bagian alasan mendasar bisa saja reshuffle cabinet terjadi sebab jika Kembali ke Pemilu 2019 Anies Baswedan adalah pendukung dari Prabowo Subiyanto. Resistensi ini justru sangar berdampaak pada perombakan cabinet. Ketiga, PDIP tidak mau kehilangan star, sebab apa yang kemudian dilakukan oleh partai Nasdem merupakan Langkah cepat untuk memperoleh popularitas partai dengan car aini diyakini dapat mempengaruhi pada rasa empati dan simpati public terhadap partai Nasdem.

 

Masih banyak gejolak partai politik yang semacam dekat dengan panggangan api sehingga hawa panas begitu terasa entah itu secara terselubung maupun secara terbuka di ruang-ruang public. Sehingga ini menjadi pesan politik dicermati secara bersama, sejauh mana dan sudah memiliki kontribusi apa setiap partai politik terhadap bangs aini terlebih khsusus berdampak untuk rakyat.


REGULASI TENTANG AMBANG BATAS PENCALONAN PRESIDEN (PRESIDENTIAL THRESHOLD)

Tentu ada berbagai pertimbangan regulasi yang mengikat atau mendapatkan legitimasi baik hukum maupun politik menjadi sebuah kenyataan kedudukan perundang-undangan di Indonesia, tanpa legitimet tersebut tentu segala prakarsa keputusan atas keabsahan undang-undang dianggap inkonstiusional. Seprti halnya dengan regulasi tentang ambang batas pencalonan presiden yang dengan dalil utama agar ada batasan-batasan tertentu yang harus dilalui, jika hal tersebut tidak sesuai dengan regulasi maka dengan sendiri hal tersebut tidak sah secara konstitusi akan gugur. Ambang batas pencalonan presiden tentu dianggap penting oleh Sebagian besar orang namun dilain pihak ini adalah bagian dari hal yang sangat tidak masuk seperti pengekangan terhadap kebebasan warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden, partai politik yang tidak masuk secara kriteria dengan sendirinya akan tidak lolos secara selektif.


Presidential Threshold justru diinterpretasiakan tujuan sebagai rule of game alat yang melanggengkan partai politik mana yang bisa mengusung calon pasangan presiden dan wakil presiden dalam pemilu. Ambang batas ini banyak dikritik oleh beberapa pihak salah satunya ialah partai-partai kecil yang perolehan suaranya tidak mencukupi ketentuan presidential threshold, partai-partai kecil menganggap mekanisme ini bertentangan dengan hak konstitusional warga negara walau ada bagian-bagian tertentu bagi partai politik yang suaranya kurang mencukupi ketentuan Presidential Threshold untuk memutuskan dan tidak  bergabung dengan partai politik lain dengan menyatukan ideologi dan cita- cita yang diusung. Akan tetapi yang kemudian menjadi perdebatan adalah persoalan mekanisme dan persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden terutama persyaratan presidential threshold yang diatur dalam Undang Undang Pilpres, yaitu Undang Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Pengertian presidential threshold adalah pengaturan tingkat ambang batas dukungan dari DPR, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara  sebutan lain juga dengan jumlah perolehan kursi yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu agar dapat mencalonkan Presiden dari partai politik tersebut atau dengan gabungan partai politik. Hal ini Sesuai dengan Hasil amandemen UUD 1945 jelas mengamanatkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat. Namun kenytaan berbanding terbalik dengan berbagai pendasaran yang berlandaskan undang-undang terbaru.


Kemudian Kembali diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 222 yang berbunyi “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya” dari runutan  Undang-Undang Pemilu yang dijelaskan diatas, partai politik yang memenuhi syarat untuk mengajukan capres/cawapres pada Pilpres 2024 harus memperoleh minumum 20% dari jumlah kursi DPR pada Pemilu 2019. Dengan demikian, hanya 1 partai yang memenuhi persyaratan dari persentase perolehan kursi DPR yaitu partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).


Merujuk dari sebuah jurnal yang ditulis oleh Abdul Munawarman dan Anggun Novita dari Universitas Surya Kencana yang menjelaskan bahwa beberapa pakar hukum internasional seperti Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stah melihat   hukum Eropa Barat Kontinental memakai istilah Rechtsstaat sedangkan ahli Anglo Saxon seperti A. V. Dicey memakai istilah Rule of Law oleh Stahl disebutkan unsur- unsur dalam Rechtsstaat dalam arti klasik yang meliputi : hak hak manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu, pemerintahan berdasarkan undang-undang dan adanya sistem peradilan administrasi dalam perselisihan. Pada saat yang sama memeparkan argumentasi  tentang kriteria-kriteria dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of Law ialah yang salah satunya tentang adanya pemilihan umum yang bebas dan kebebasan berserikat/ berorganisasi dan beroposisi. 


Maka bagian kaeadilan undang-undang tersebut tidak terpenuhi dengan baik, bagian ini yang dikritik yang mana justru implementasi dari rule of law itu tidak ada. Namun ada beberapa penjelasan dari pentingnya undang-undang tersebut dibuat penerapan Presidential Threshold dengan dalih sebagai penguatan sistem presidensial dimana kedudukan presiden yang strategis harus didukung dengan kekuatan partai politik

Penulis: Jeffry Meo
Tulisan ini menjadi tanggung jawab Penulis